Suatu
hari enam belas orang mahasiswa berinisiatif untuk mengadakan suatu proyek
sosial. Rencananya mereka akan menyumbangkan bantuan berupa pakaian-pakaian
bekas untuk diberikan ke suatu daerah. Daerah tersebut terdapat sebuah desa
yang sangat miskin bahkan untuk pakaian saja penduduknya masih sangat
kekurangan. Mereka kemudian membagi-bagikan pakaian bekas, sarung , baju dan
semua jenis pakaian lainnya dari sumbangan ke-enam belas mahasiswa tersebut
kepada penduduk setempat. Dan semua barang bekas pakai tersebut diterima dengan
penuh suka cita dan senang hati oleh masyarakat desa itu.
Setelah
selesai menjalankan proyek sosialnya, ke-enam belas mahasiswa tersebut hendak
pulang, bukan hanya lambaian tangan yang mencerminkan rasa terima kasih
masyarakat desa itu, bahkan pandangan mata mereka ketika hendak melepas para
tamu yang sangat baik hati itu menggambarkan rasa syukur mereka yang sangat
mendalam.
Salah
seorang mahasiswa dalam rombongan mobil itu kemudian menangis seakan-akan tak
kuasa menahan rasa haru yang sangat.
“Mengapa
kau menangis? Tak usahlah engkau menangis,” ujar salah seorang lainnya berusaha
menenangkannya, “mereka sudah sangat gembira atas apa yang kita berikan kepada
mereka.”
“Iya,
harusnya kita ikut bahagia seperti apa yang mereka rasakan, bukannya bersedih.”
Komentar salah satu temannya yang lain.
Tetapi
anak muda yang menangis tadi seperti tidak mendengar ucapan dari teman-temannya
tersebut. Ia masih saja terus tersedu menahan haru. Setelah tangisnya mulai
mereda, salah seorang temannya yang lain mencoba mencari tahu mengapa ia
menangis, “aneh sekali kau ini, sebenarnya apa yang kau pikirkan? Harusnya kan
kau juga bergembira sehabis menggembirakan fakir miskin.”
Kemudian
anak muda ini menjawab, “apakah kalian ingin tahu mengapa aku menangis? Ya, aku
sangat terharu dengan penduduk di sana, dengan diberi baju bekas saja rasa
terima kasih mereka sudah sedalam itu, apalagi kalau yang kita berikan kepada
mereka itu berupa pakaian baru, atau hal baru lainnya yang belum pernah kita
pakai. Sayangnya, keikhlasan kita dalam berinfaq masih sebatas barang bekas
saja. Kapan ya kita bisa meningkatkan drajat keikhlasan kita untuk berinfaq
dengan barang-barang yang sangat kita senangi?”
0 comments:
Post a Comment
comment yang anda tuliskan, memberikan semangat tersendiri...