hover animation preload

Memaknai Filosofi Pagi
by Abdushshabur Rasyid Ridha in , ,

“Siapa yang tidak bisa menikmati pagi mungkin ia juga tidak bisa menikmati hidupnya.”

Pagi itu bukan hanya tentang waktu terbitnya matahari. Pagi bukanlah sekedar pertanda dimulainya aktivitas manusia. Hadirnya Pagi ini juga seakan mengabarkan bahwa dunia dimulai lagi, kehidupan berputar lagi.

Pagi datang setiap hari, tapi hanya sedikit yang mampu memaknai setiap fase kehadiran Pagi. Tidak semua orang sadar bahwa pagi hanya datang sebentar kemudian pergi lagi. Indahnya pagi hanya akan dirasakan oleh mereka yang sangat bersemangat ingin melihat sunrise hidupnya. Mereka ingin harinya di awali dengan hal yang indah untuk kemudian menutup harinya dengan kepuasan setelah melihat sunset di akhir harinya.

Mungkin hanya ada satu kata “menyesal” bagi mereka yang tidak memanfaatkan waktu paginya, tidak bergegas mempersiapkan aktivitasnya, tidak berani mengambil keputusan besar di pagi harinya. Mereka tidak sempat menikmati sunrise dan mereka juga melewatkan segala keindahan pagi.

Bersemangatlah menyambut pagi. Karena tidak ada waktu seramah pagi, Ia datang membawa embun, mengundang kicauan burung. Saat pagi, keheningannya menenangkan, segarnya seakan menggairahkankan, pagi datang diantara cerianya wajah manusia, pagi selalu datang mencurahkan kesejukan, pagi pun selalu datang dengan membawa harapan-harapan baru.

Dengan memaknai pagi maka kita akan mulai bisa mengawali hari dengan hal positif. Dengan memaknai pagi maka kita akan selalu bersyukur dengan adanya kesempatan dan harapan baru tentang hidup lebih baik. Karena pagi adalah awal kehidupan. Syukurilah, hargailah, dan maknailah pagi. SEMANGAT PAGI!
Comments (5)

Abdushshabur - Kembali Bermimpi
by Abdushshabur Rasyid Ridha in

Comments (0)

Insya Allah Empat Tahun
by Abdushshabur Rasyid Ridha in , ,

Semeter baru, maka di saat itu pula akan selalu ada tantangan baru. Tahun ajaran ini (insya Allah) adalah periode terakhirku berada di dunia perkuliahan, dua semester lagi maka genap empat tahun usiaku berada di kampus kuning ini. Pekan pertaama melalui semester baru, banyak hal baru yang ku alami.

Di antara banyak hal baru tersebut adalah, munculnya pertanyaan baru di sekitar ku, pertanyaan pertama adalah “lulus dengan jalur apa?” dengan mudah ku jawab, “pake jalur TAA alias Tanpa Apa-Apa.”

Aku akhirnya memutuskan untuk menempuh kuliah tanpa skripsi ataupu TKA (Tugas Karya Akhir), bukan karena aku tak mau, melainkan karena tak bisa. Salah satu persyaratan mahasiswa tingkat akhir yang ingin mengambil skripsi adalah harus memiliki IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimal 3.5 hal ini jelas menutup kemungkinan ku untuk mengambil jarur skripsi mengingat IPK-ku yang memang lebih rendah dari standar tersebut.

Kemudian pertanyaan kedua, “mau lulus kuliah berapa tahun?” Nah, pertanyaan ini masih belum bisa ku jawab dengan mantap, ya karena sebenarnya hatiku juga masih bimbang untuk memutuskannya. Sebenarnya ada kemungkinan bagiku untuk lulus kuliah cepat yakni 3.5 tahun, namun di dalam hati ku, aku berpikir untuk mempersiapkan diri agar lebih siap menyambut dunia pasca kampus.

Terlalu naif memang, di saat yang lain ingin sekali untuk lulus lebih cepat namun aku justru mencoba berpikir sebaliknya. Bukan berarti aku ingin berlama-lama di kampus, aku hanya ingin lebih mematangkan diri saja, bagiku empat tahun itu waktu yang sangat cukup dan tak perlu lebih dari itu. Insya Allah empat tahun.
Comments (4)

Bebas itu Berasal dari Keinginan Hati
by Abdushshabur Rasyid Ridha in , ,


"...selama kita menyadari bahwa hal tersebut adalah semata keinginan hati kita maka yang pahit pun akan terasa manis pada akhirnya."

Tinggal di asrama pada awalnya menjadi hal yang begitu diidamkan. Banyak sekali ekspektasi luar biasa yang aku pendam sebelum aku berasakan bagaimana kehidupan berasrama. Di dalam pikiran ku hidup berasrama berarti hidup bersama-sama dan menanggung kesenangan dan kesulitan secara bersama-sama. Saling menularkan keunggulan masing-masing kepada penghuni asrama lain, saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Intinya yang aku pikirkan tentang asrama adalah sebuah tempat tinggal dengan penuh dinamika dan kebersamaan di dalamnya. Kemudian satu alasan terakhir yang membuat ku beranggapan bahwa tinggal dia asrama itu akan menyenangkan adalah seperti kata pepatah “rumput tetangga memang terlihat lebih hijau dari rumput sendiri.”

Dengan segelintir ekspektasi tersebut akhirnya aku memutuskan pidah dari kos-kosan, sebelumnya aku memang sudah hidup bersama-sama, dengan teman-teman seperrmainan saat SMA. Namun dengan keputusan ku berpindah ke asrama aku berharap untuk keluar dari comfort zone dan berproses menjadi diri yang lebih baik lagi. Setelah di fase awal menikmati kehidupan berasrama rasa-rasanya aku sudah mulai kerasan dengan situasi seperti ini, sampai akhirnya…

Aku merasa seperti kehidupanku mulai terbatasi layaknya hidup di sangkar emas, segala hal ada aturannya, mau ini di atur mau itu diatur, jam segini ada agenda itu jam segitu ada agenda ini. Hari ini aku harus piket ini, membersihkan itu dan segala hal lainnya. hingga kemudian aku merasa segala rutinitas tersebut membuat hari-hari ku mulai kacau balau, bangun kesiangan, lupa sarapan, tidak sempat mengerjakan tugas, agenda organisasi bentrok dan segala keluhan hidup lainnya.

Aku mulai berpikir apakah aku cocok untuk hidup berasrama seperti apa yang pada awalnya aku pikirkan. Dalam periode tersebut aku merasakan kerinduan untuk kembali tinggal di kos-kosan, bukan karena aku tidak betah hidup di asrama, tapi karena ada hal yang seperti membuatku ‘terpenjara’. Di saat pikiranku seperti itu, sekali dua kali aku sering ‘kabur’ dari asrama dan mampir ke kosan untuk bersenda gurau dengan teman-teman lama. Dalam kondisi itu aku terus berpikir apakah keinganan ku untuk tinggal di asrama adalah kehendak ku sendiri, apakah aku bahagia di sini, apakah ini memang tempat yang cocok untuk ku. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian mengiringi hari-hari ku di awal kehidupa berasrama.

Aku kemudian mulai berpikir positif, masukan-masukan serta cerita dari beberapa pihak tentang kehidupan berasarama membuatku mulai berpikir positif. Saat itu aku berpikir bahwa paling tidak hidup di asrama bukanlah seperti hidup di sangkar emas. Tingga di asrama ini adalah pilihan hidupku, kalau aku menyesal berarti aku sudah menyiakan potongan hidup ku tersebut untuk hal yang tidak berguna. Aku pun sadar dengan upaya ku mengubah persepsi tersebut saat itu pula aku seperti bebas dari penjara, aku pun mulai menikmati segala hal yang pada awalnya ku anggap bagai hidup di ‘sangkar emas’.

Aku sadar bahwa ketika kita berpikir untuk tidak ingin berada di suatu tempat, maka alam bawah sadar kita akan terus-menerus mencari alasan pendukung dan pembenaran tentang pikiran kita tersebut. Di manapun tempatnya, senyaman apapun fasilitasnya tempat tersebut akan tetap menjadi sebuah penjara bagi diri kita.

Tak hanya tentang tempat tinggal, ‘kondisi di mana kita tidak ingin berada’ ini akan memaksa kita untuk keuar dari sana dan merasa tidak nyaman dengan situasi apapun. Hal ini berlaku juga dengan pekerjaan yang kita kerjakan, hubungan yang kita jalani, organisasi yang kita ikuti, bahkan jurusan kuliah yang kita pelajari. Selama kita merasa tidak ingin berada di sana, maka kita akn seperti berada di dalam penjara sekalipun penjara tersebut seperti sebuah sangar emas, tempat itu tetaplah menjadi penjara bagi kita.

Ketika aku sudah mengubah persepsiku tentang kehidupan berasrama ini, aku pun mulai bisa menjalani dan menikmati kehidupanku di asrama. perlahan-lahan segala rutinitas arama ini jadi mulai menyenangkan, padahal awalnya aku merasa bahwa hal tersebut mengganggu hidup ku, tapi kini tidak lagi aku telah bebas. Aku merasakan kesenangan dan kepuasan tentang apapun yang aku lakukan di asrama ini. Satu hal yang aku dapatkan bahwa selama kita menyadari bahwa hal tersebut adalah semata keinginan hati kita maka yang pahit pun akan terasa manis pada akhirnya.

*tulisan ini terispirasi dari potongan cerita yang berjudul “Dunia Bebas” dalam buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”
Comments (1)

Bahagianya Ketika Kita Tiba di Puncak
by Abdushshabur Rasyid Ridha in , ,


"Bahagia itu sederhana, ketika kita bisa menyelesaikan sesuatu dan sampai di tujuan dengan hasil kerja keras dan pengorbanan secara bersama-sama itulah bahagia."


Seseorang tak akan tahu bahagianya seseorang yang berhasil mencapai puncak gunung kalau ia tidak mencobanya sendiri. Aku ingin sekali merasakan hal yang seperti itu. Merasakan bahagia setelah berlelah-lelah menggerakkan kaki ribuan langkah untuk mencapai puncak, yang sampai sekarang belum pernah ku lakukan.

Sampai sekarang aku masih berkeinginan mewujudkan hal tersebut sebelum aku benar-benar tidak punya kesempatan lagi. Sebelum ini aku sudah pernah melakukan perjalanan gunung, tapi itu belum seberapa aku belum pernah menyentuh puncak. Namun, walaupun hanya mencapai kawah nya saja perasaan bahagia itu begitu luar biasa, dan aku bisa membayangkan betapa lebih bahagianya ketika aku benar-benar sampai di puncak gunung.

Seperti itu pula yang juga aku rasakan di kehidupanku saat ini. Aku seperti baru saja menyelesaikan pendakianku menuju puncak. Ya, setelah melakukan berbagai kerja keras dan pengorbanan, akhirnya aku berhasil menyelesaikan salah satu tugas berat sebagai mahasiswa yaitu magang. Rasanya sungguh luar biasa. Ada perasaan lega, dan bahagia. Bagaimana tidak, aku berhasil melalui perjalanan dua bulan dengan susah payah, perasaan senang dan bosan menjadi kisah sepanjang dua bulan ini. Sampai akhirnya hani ini aku bisa bernapas lega karena semuanya telah berhasil aku lalui.

Mungkin apa yang aku lalui selama magang ini bisa ku analogikan seperti perjalanan mendaki gunung. Segala perasaan itu dimulai dengan antusiasme besar untuk mendapatkan pengalaman berharaga, kemudian awal perjalanan akan begitu menyenangkan, sampai di separuh jalan akan muncul kebosanan sampai ada hal yang membuatku akhirnya bersemangat lagi mencapai tujuan akhir dari pendakian ini. Di bagian akhir aku pun bersemangat lagi karena ingin segera sampai di puncak. Ya begitulah, dan ketika sampai di puncak rasanya begitu luar biasa dan sangat ingin aku membagi kebahagiaan itu kepada orang-orang sekitarku.

Seperti itu pula perjalanan hidup, dan aku pun menyadari segala kesulitan itu tak mungkin bisa ku lalui sendirian. Selalu ada orang yang bisa ku ajak berbagi selama perjalanan mencapai tujuan itu, saat mendaki gunung maupun menyelesaikan magang teman-teman lah yang memberiku semangat untuk tetap menlanjutkan perjalanan sampai akhir, tanpa mereka mungkin aku tak akan sampai di puncak.

Bagiku bahagia itu sederhana, ketika kita bisa menyelesaikan sesuatu dan sampai di tujuan dengan hasil kerja keras dan pengorbanan secara bersama-sama itulah bahagia. Setelah ini, masih banyak tantangan hidup yang harus ku lalui. Masih ada tantangan semester akhir, kemudian pilihan hidup tentang melanjutkan ke jenjang pasca kampus, entah kerja ataupun melanjutkan kuliah. Saat ini aku selalu berharap bahwa di setiap masanya akan ada teman-teman yang selalu membersamaiku di setiap potongan kisah hidupku.
Comments (1)