"...selama kita menyadari bahwa hal tersebut
adalah semata keinginan hati kita maka yang pahit pun akan terasa manis pada
akhirnya."
Tinggal
di asrama pada awalnya menjadi hal yang begitu diidamkan. Banyak sekali
ekspektasi luar biasa yang aku pendam sebelum aku berasakan bagaimana kehidupan
berasrama. Di dalam pikiran ku hidup berasrama berarti hidup bersama-sama dan
menanggung kesenangan dan kesulitan secara bersama-sama. Saling menularkan
keunggulan masing-masing kepada penghuni asrama lain, saling melengkapi satu
dengan yang lainnya.
Intinya
yang aku pikirkan tentang asrama adalah sebuah tempat tinggal dengan penuh
dinamika dan kebersamaan di dalamnya. Kemudian satu alasan terakhir yang
membuat ku beranggapan bahwa tinggal dia asrama itu akan menyenangkan adalah
seperti kata pepatah “rumput tetangga memang terlihat lebih hijau dari rumput
sendiri.”
Dengan
segelintir ekspektasi tersebut akhirnya aku memutuskan pidah dari kos-kosan,
sebelumnya aku memang sudah hidup bersama-sama, dengan teman-teman seperrmainan
saat SMA. Namun dengan keputusan ku berpindah ke asrama aku berharap untuk
keluar dari comfort zone dan
berproses menjadi diri yang lebih baik lagi. Setelah di fase awal menikmati
kehidupan berasrama rasa-rasanya aku sudah mulai kerasan dengan situasi seperti
ini, sampai akhirnya…
Aku
merasa seperti kehidupanku mulai terbatasi layaknya hidup di sangkar emas,
segala hal ada aturannya, mau ini di atur mau itu diatur, jam segini ada agenda
itu jam segitu ada agenda ini. Hari ini aku harus piket ini, membersihkan itu
dan segala hal lainnya. hingga kemudian aku merasa segala rutinitas tersebut
membuat hari-hari ku mulai kacau balau, bangun kesiangan, lupa sarapan, tidak
sempat mengerjakan tugas, agenda organisasi bentrok dan segala keluhan hidup
lainnya.
Aku
mulai berpikir apakah aku cocok untuk hidup berasrama seperti apa yang pada
awalnya aku pikirkan. Dalam periode tersebut aku merasakan kerinduan untuk
kembali tinggal di kos-kosan, bukan karena aku tidak betah hidup di asrama,
tapi karena ada hal yang seperti membuatku ‘terpenjara’. Di saat pikiranku
seperti itu, sekali dua kali aku sering ‘kabur’ dari asrama dan mampir ke kosan
untuk bersenda gurau dengan teman-teman lama. Dalam kondisi itu aku terus
berpikir apakah keinganan ku untuk tinggal di asrama adalah kehendak ku
sendiri, apakah aku bahagia di sini, apakah ini memang tempat yang cocok untuk
ku. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian mengiringi hari-hari ku di awal
kehidupa berasrama.
Aku
kemudian mulai berpikir positif, masukan-masukan serta cerita dari beberapa
pihak tentang kehidupan berasarama membuatku mulai berpikir positif. Saat itu aku
berpikir bahwa paling tidak hidup di asrama bukanlah seperti hidup di sangkar
emas. Tingga di asrama ini adalah pilihan hidupku, kalau aku menyesal berarti
aku sudah menyiakan potongan hidup ku tersebut untuk hal yang tidak berguna.
Aku pun sadar dengan upaya ku mengubah persepsi tersebut saat itu pula aku
seperti bebas dari penjara, aku pun mulai menikmati segala hal yang pada
awalnya ku anggap bagai hidup di ‘sangkar emas’.
Aku
sadar bahwa ketika kita berpikir untuk tidak ingin berada di suatu tempat, maka
alam bawah sadar kita akan terus-menerus mencari alasan pendukung dan
pembenaran tentang pikiran kita tersebut. Di manapun tempatnya, senyaman apapun
fasilitasnya tempat tersebut akan tetap menjadi sebuah penjara bagi diri kita.
Tak
hanya tentang tempat tinggal, ‘kondisi di mana kita tidak ingin berada’ ini
akan memaksa kita untuk keuar dari sana dan merasa tidak nyaman dengan situasi
apapun. Hal ini berlaku juga dengan pekerjaan yang kita kerjakan, hubungan yang
kita jalani, organisasi yang kita ikuti, bahkan jurusan kuliah yang kita
pelajari. Selama kita merasa tidak ingin berada di sana, maka kita akn seperti
berada di dalam penjara sekalipun penjara tersebut seperti sebuah sangar emas,
tempat itu tetaplah menjadi penjara bagi kita.
Ketika
aku sudah mengubah persepsiku tentang kehidupan berasrama ini, aku pun mulai
bisa menjalani dan menikmati kehidupanku di asrama. perlahan-lahan segala
rutinitas arama ini jadi mulai menyenangkan, padahal awalnya aku merasa bahwa
hal tersebut mengganggu hidup ku, tapi kini tidak lagi aku telah bebas. Aku
merasakan kesenangan dan kepuasan tentang apapun yang aku lakukan di asrama
ini. Satu hal yang aku dapatkan bahwa selama kita menyadari bahwa hal tersebut
adalah semata keinginan hati kita maka yang pahit pun akan terasa manis pada
akhirnya.
*tulisan ini terispirasi dari potongan cerita yang berjudul
“Dunia Bebas” dalam buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”