Hari ini (6/12) baru aja saya merasakan bagaimana rasanya memilih langsung menggunakan media e-vote. Ada hal yang sedikit berkesan. Bagaimana tidak, saat kita mengambil hak untuk menggunakan suara saya dalam pemira saya justru mendapatkan reward, walaupun hanya sebatang coki-coki.
Sebenarnya memang tidak ada korelasi yang jelas antara pemira dengan coki-coki. Saya hanya mencoba membuka tulisan ini dari apa yang saya alami saat berada di bilik suara. Dari sini saya membayangkan, apakah harus dulu ada sebatang coki-coki untuk kemudian seorang mahasiwa baru mau berpatisipasi menggunakan hak suaranya. Faktanya coki-coki memang digunakan oleh panitia pemira (di FISIP) sebagai “ucapan terima kasih” kepada mahasiswa yang sudah mau menggunakan hak suaranya untuk menentukan calon ketua dan wakil ketua BEM UI 2013.
Dari kasak-kusuk yang saya dapat, memasuki
dua hari terakhir menjelang e-vote pemira
ini di tutup, sudah sekitar 8 ribu mahasiswa yang berpartisipasi dalam pemira
tahun ini. Masih ada satu hari lagi untuk bisa melampaui jumlah total suara
yang masuk di ajang pemira tahun lalu. Di mana pemira tahun lalu menurut saya
menjadi salah satu pemira yang sukses karena berhasil menghimpun lebih dari 12
ribu suara mahasiswa UI.
Menjelang berakhirnya masa voting calon Ketua dan Wakil Ketua BEM
UI, dan dengan posisi jumlah suara sementara yang masuk mencapai 8 ribu,
mungkin hal ini akan menjadi keberhasilan tersendiri bagi panitia pemira. Saya sangat
mengapresiasi kinerja dari para panitia pemira tahun ini. Secara rasional
siapapun bisa membayangkan di tengah berbagai hambatan yang menghadang
pelaksanaan pemira tahun ini, angkat 8 ribu dalam 4 hari ini mungkin saja
menjadi hal yang sulit dicapai jika tidak ada berbagai upaya dari pihak panitia
pemira.
Satu Calon Pasti
Pemira tahun ini memang dihadapkan dengan
berbagai masalah yang mungkin belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Minimnya pendaftar untuk menjadi calon Ketua BEM UI menjadi salah satu masalah
tersendiri. Sehingga hal ini juga berdampak pada merebaknya kekhawatiran sejumlah
masyarakat UI yang mana mereka berpikiran bahwa ada yang salah dengan
pelaksanaan kaderisasi di UI. Fenomena calon hanya ada satu calon untuk menjadi
kandidat ketua dan wakil ketua BEM UI memang menjadi yang pertama dalam sejarah
pemira Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) UI sehingga wajar banyak terdengar suara-suara
yang agak khawatir dengan masa depan IKM UI itu sendiri.
Banyak yang mempertanyakan mengapa akhirnya
hanya satu pasangan saja yang maju dalam medan pemira. Berbagai opini
bertebaran, dan kebanyak dari opini tersebut seakan tidak mencerminkan tingkat
kecerdasan dari mahasiswa UI. Mereka yang berkoar-koar menyuarakan opininya
justru malah mengintimidasi calon pasangan yang sudah “berani” mengajukan
dirinya untuk berkontribusi untuk UI. Mereka terkesan tidak menghargai
pengorbanan yang dilakukan oleh pasangan tunggal ini.
Analogi sederhanya, coba kita bandingkan
dengan ospek mahasiswa. Dalam sebuah kegiatan ospek biasanya sering terjadi
keanehan dalam sistem marah-marahnya senior. Para senior ini justru marah-marah
kepada para peserta ospek yang hadir, sedangkan mereka yang tidak hadir para
senior ini tidak tahu-menahu. Yang mereka tahu adalah para peserta ospek yang
hadir harus bertanggung jawab untuk menghadirkan mereka yang tidak hadir dalam
kegiatan ospek tersebut. Bukannya dihargai malah diintimidasi.
Pasangan calon ini yang sudah bersusah payah
mempersiapkan diri untuk maju dan sudah lolos segala bentuk administrasi di dalam
panitia pemira mereka anggap belum siap. Lalu apakah mereka yang
berteriak-teriak seperti itu merasa dirinya lebih siap dibandingkan dengan
pasangan calon ketua dan wakil ketua BEM UI ini. Kalau mereka berbicara seperti
itu mengapa bukan mereka saja yang maju menjadi calon ketua dan wakil ketua BEM
UI.
Bahkan yang lebih ekstrem, mereka (seakan)
berbondong-bondong membuat gerakan untuk memilih dummy (memilih opsi untuk tidak memilih) dari pada memilih calon pasangan
yang nyata bentuk dan visi-misinya. Toh Dummy
itu kan tidak mendaftar, lalu mengapa kita pilih. Kemudian sekalipun pada
akhirnya ketua BEM nantinya akan dipilih melalui Musyawarah Mahasiswa (Musma)
apakah kita (sebagai mahasiswa UI) akan menerima jika Ketua BEM terpilih tidak
melalui tahapan ekplorasi (di 14 Fakultas) serta melalui berbagai pembekalan calon
seperti yang dilakukan oleh satu pasangan yang sekarang ini.
Mahasiswa yang rasional tentu lebih memilih
mereka yang sudah melalui berbagai proses dan tahapan pemira daripada meneriman
Ketua BEM UI yang ujug-ujug terpilih melalui Musma yang mungkin jumlah
hadirinnya tidak lebih banyak dari (akumulasi) mereka yang hadir saat ekspolasi
kandidat. Sehingga saat ini yang masih bisa kita lakukan (selain berpartisipasi
di Musma) adalah mengapresiasi mereka yang punya keinginan untuk berkontribusi
dibandingkan dengan mengintimidasi dan menyudutkan mereka. Kita masih punya
satu hari untuk menggunakan hak kita ke arah yang lebih solutif dari pada
menunggu hal yang tidak pasti di masa yang akan datang. Karena kita sendiri tidak
tahu apa yang akan terjadi setelah Musma.
Lebih baik memilih hal yang pasti walaupun
dengan segala pertimbangannya. Saat kita mengetahui secara pasti apa yang ada dihadapan
kita, maka kita juga akan bisa memikirkan solusi untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Selain itu, sudah tentu jauh lebih sulit menyelesaikan masalah yang
bahkan kita sendiri belum tahu pasti apa masalahnya. Karena tanpa tahu apa
masalah yang akan muncul, maka kita juga akan lebih memakan waktu untuk
menemukan solusinya.
1 comments:
Postingan yang bagus gan, ane udah follow blognya FOLLOWback di www.baru-terupdate.blogspot.com
Post a Comment
comment yang anda tuliskan, memberikan semangat tersendiri...